Minggu, 13 April 2014

MENGAMBIL ROH PADI DENGAN MAKAN PADI BARU DALAM TRADISI DAYAK SAWE

                   TRADISI DAYAK SAWE
Ø  EMBUAT SEMONGAT PADI TAMBAH MAKAN’T PADI BAHU (DALAM BAHASA DAYAK SAWE)

Embuat semongat padi tambah makant padi bahu kami uyang Sawe, pada awal’e udah nggotam padi. Pada saat inyaa’am kami besuko”or atas padi yang ade kami nggotam. agi joman dolu tek, bala atu’ kami embuat pehato”or  pituk nya’am sampe saat ntuk agik ade sahim. Embuat semongat padi tambah makan padi bahu istilah’e pada joman ntuk, besuko”or ke Duata atas ope yang udah dibohik Duata atau besuko”or ke Duata atas hahmat’e yang udah embohik dan enjaga padi sampe tau digotam. Biasa’e kami uyang Sawe bila udah nggotam padi dan langsung makan padi bahu kami pun embaik upa entuk: tuak sebotol, paku, bohas bahu sikit tambah engkayu yang ulih dahi uma kite nyak. kami yang ade di Kalah Tawangk atau uma nyak, mulai bebaca atau berdoa ngucapkan terima suko”or atas ope yang udah dibohik dan enjaga padi kami sampe kami nggotam padi kami.Ndak lupa gak, pahato”or kami uyang Sawe bila makan padi bahu pasti ade yang nama’e Ompint. pahato”or kami uyang Sawe, bila uyang ndak embuat ompint bila inye makant padi bahu, maka’e inye nyak endak sah dan endak dianggap atau penda makant padi bahu. Entu’ump kami uyang Sawe bila uyang Sawe embuat semongat padi tambah makant padi bahu selalu mengucap suko”or ke Duata. Pitu’am cehita kami uyang “ Dayak Sawe” bila makantt padi bahu endak lupa besuko”or selalu ke Duata atas ope yang udah Duata bohi ke kami.


1.1. MENGAMBIL ROH PADI DENGAN MAKAN PADI BARU (TERJEMAHAN)
Mengambil roh padi dengan makan padi baru bagi kami masyarakat Sawe, pada awalnya sudah panen padi. Pada saat itulah kami bersyukur atas padi yang telah kami panen. pada zaman dahulu kala, orang tua-tua kami membuat peraturan seperti ini, hingga sampai saat ini kebiasaan seperti ini tetap dilestarikan. Mengambil roh padi dan makan padi baru, istilahnya pada zaman sekarang bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah diberikan Tuhan atau bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sudah diberikan Tuhan atau bersyukur kepada Tuhan atas rahmatNya yang telah memberi dan menjaga padi hingga bisa dipanen. Karena peraturan ini tidak melanggar aturan-aturan agama, makanya sampai saat ini tradisi semacam ini masih tetap dilestarikan.

Biasanya kami orang Sawe, bila sudah panen padi dan langsung makan padi baru. Kami pun membawa beberapa hal yang tidak terlepas dari kebiasaan kami yakni terdiri dari sebotol tuak yang dibuat dari beras ketan hasil berladang, paku beserta sayur-sayuran hasil berladang tersebut. Upacara semacam ini biasanya dilaksanakan di pondok ladang. Di pondok itulah kami berkumpul dan mulai berdoa mengucap syukur atas Sang Pencipta karena telah memberikan hasil panen yang baik danm menjaga tanaman yang ada di ladang sehingga kami dapat menikmati hasilnya. Tidak lupa juga, peraturan kami orang Sawe bila makan padi baru tidak asing dengan yang namanya “ompint” (nama makanan dalam bahasa Dayak Sawe yakni semacam penganan/ makanan yang terbuat dari padi yang telah di onseng dan ditumbuk hingga gepeng dan dicampur dengan gula atau induk gula). Disaat orang Sawe makan padi baru selalu membuat penganan semcam itu, dan ini adalah tradisi turun-temurun dari para sesepuh pada zaman dahulu. Kami memiliki kepercayaan bahwa jikan penganan/ makanan semcam itu tidak dibuat pada saat upacara maka tidak sah lah upacara makan padi baru. Beginilah cerita kami orang Dayak Sawe bila makan padi baru dengan mengambil roh padi, kami orang Sawe selalu bersyukur kepada Tuhan atas hasil panen yang sudah kami terima.

*      HUBUNGAN PACARA MENGAMBIL ROH PADI DAN MAKAN PADI BARU DENGAN AGAMA(KATOLIK)

Telah tertulis jelas bahwa, adat-istiadat orang Sawe terutama dalam upacara mengambil Roh Padi dan  makan padi baru bersama-sama adalah suatu wujud syukur dan terimakasih masyarakat Sawe kepada sang Pencipta atas hasil panen padi. Setiap usaha mereka sealalu berhasil dan atas keberhasilan mereka khususnya dalam berladang karena mata pencaharian masyarakat Sawe pada umumnya adalah berladang berpindah-pindah dan ini merupakan tradisi turun-temurun. Hal ini mau menunjukan bahwa masyarakat Sawe memiliki kepercayaan bahwa adanya peranan Sang Pencipta yang menguasai bumi dan menciptakan segalanya sehingga mereka sadar dan percaya kepada Sang Pencipta, maka dibuatlah suatu upacara khusus berupa penghormatan kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen yang berlimpah.

Dalam agama juga ada suatu upacara pemberkatan benih padi dan pemberkatan alat-alat untuk berladang seperti cangkul, parang dan lain sebagaianya. Maka, dari sebab itu tampak jelas sekali ada hubungan yang sangat erat terutama dalam tujuan dari upacara tersebut yakni berupa ucapan syukur kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta yang telah menciptakan segala isi bumi hal ini jelas juga mau menunjukkan bahwa Masyarakat Sawe sangat menghormati Tuhan.

Yang menjadi masalah disini adalah struktur upacaranya, bahwa dalam tata upacara adat Masyarakat Sawe terdapat sarana yang sedikit agak rancu bila dipandang dari segi agama, sarana itu berupa paku. Paku di percaya oleh masyarakat Dayak Sawe sebagai suatu penguat semangat/ roh bagi padi. hal ini tentu ada semacam “penyembahan berhala” terhadap paku tersebut, selain itu juga hal yang cukup rancu jika dipandang deri segi agama bahwa masyarakat Dayak Sawe mempercayai padi meiliki roh. Namun, hal ini bukan berarti mengurangi tujuan utama dari upacara tersebut yakni penghormatan dan ucapan syukur dan terimakasih kepada “Duata/Petaha” (Tuhan).

Kesamaan dalam hal tujuan antara upacara adat dayak Sawe “mengambil roh padi dan makan padi baru” dengan upacara pemberkatan benih dan alat-alat bekerja dalam agama (pemmberkatan barang atau alat-alat Sakramentali) menunjukkan korelasi dan relevansi yang sangat jelas sekali, dan hal ini mau menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Sawe percaya akan adanya Tuhan sang Pencipta ini membuktikan bahwa adanya unsur spiritualitas dari masyarakat Dayak Sawe.

A.      KESIMPULAN
Secara keseluruhan telah dijelaskan bahwa antara upacara adat Dayak Sawe sangat erat hubungannya dengan agama, hal ini jelas terlihat dalam hal tujuan utama dari upacara tersebut yakni mau menunjukkan suatu ucapan syukur kepada sang Pencipta atas hasil bumi dan lain sebagainya. Hal ini jugalah yang sedikit-banyak menunjukkan adanya semacam “inkulturasi” yakni memasukkan budaya tradisional ke dalam tata upacara agama yang telah disepakati dan di setujui bersama tentunya dengan tidak melanggar kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat dan khususnya dipandang dari kaca mata iman Kristiani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar