Ø EMBUAT
SEMONGAT PADI TAMBAH MAKAN’T PADI BAHU (DALAM BAHASA DAYAK SAWE)
Embuat
semongat padi tambah makant padi bahu kami uyang Sawe, pada awal’e udah nggotam
padi. Pada saat inyaa’am kami besuko”or atas padi yang ade kami nggotam. agi
joman dolu tek, bala atu’ kami embuat pehato”or
pituk nya’am sampe saat ntuk agik ade sahim. Embuat semongat padi tambah
makan padi bahu istilah’e pada joman ntuk, besuko”or ke Duata atas ope yang
udah dibohik Duata atau besuko”or ke Duata atas hahmat’e yang udah embohik dan
enjaga padi sampe tau digotam. Biasa’e kami uyang Sawe bila udah nggotam padi
dan langsung makan padi bahu kami pun embaik upa entuk: tuak sebotol, paku,
bohas bahu sikit tambah engkayu yang ulih dahi uma kite nyak. kami yang ade di
Kalah Tawangk atau uma nyak, mulai bebaca atau berdoa ngucapkan terima suko”or
atas ope yang udah dibohik dan enjaga padi kami sampe kami nggotam padi
kami.Ndak lupa gak, pahato”or kami uyang Sawe bila makan padi bahu pasti ade
yang nama’e Ompint. pahato”or kami uyang Sawe, bila uyang ndak embuat ompint
bila inye makant padi bahu, maka’e inye nyak endak sah dan endak dianggap atau penda
makant padi bahu. Entu’ump kami uyang Sawe bila uyang Sawe embuat semongat padi
tambah makant padi bahu selalu mengucap suko”or ke Duata. Pitu’am cehita kami
uyang “ Dayak Sawe” bila makantt padi bahu endak lupa besuko”or selalu ke Duata
atas ope yang udah Duata bohi ke kami.
1.1.
MENGAMBIL ROH PADI DENGAN MAKAN PADI BARU (TERJEMAHAN)
Mengambil roh padi
dengan makan padi baru bagi kami masyarakat Sawe, pada awalnya sudah panen
padi. Pada saat itulah kami bersyukur atas padi yang telah kami panen. pada
zaman dahulu kala, orang tua-tua kami membuat peraturan seperti ini, hingga
sampai saat ini kebiasaan seperti ini tetap dilestarikan. Mengambil roh padi
dan makan padi baru, istilahnya pada zaman sekarang bersyukur kepada Tuhan atas
apa yang telah diberikan Tuhan atau bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sudah
diberikan Tuhan atau bersyukur kepada Tuhan atas rahmatNya yang telah memberi
dan menjaga padi hingga bisa dipanen. Karena peraturan ini tidak melanggar
aturan-aturan agama, makanya sampai saat ini tradisi semacam ini masih tetap
dilestarikan.
Biasanya kami orang
Sawe, bila sudah panen padi dan langsung makan padi baru. Kami pun membawa
beberapa hal yang tidak terlepas dari kebiasaan kami yakni terdiri dari sebotol
tuak yang dibuat dari beras ketan hasil berladang, paku beserta sayur-sayuran
hasil berladang tersebut. Upacara semacam ini biasanya dilaksanakan di pondok
ladang. Di pondok itulah kami berkumpul dan mulai berdoa mengucap syukur atas
Sang Pencipta karena telah memberikan hasil panen yang baik danm menjaga
tanaman yang ada di ladang sehingga kami dapat menikmati hasilnya. Tidak lupa
juga, peraturan kami orang Sawe bila makan padi baru tidak asing dengan yang
namanya “ompint” (nama makanan dalam bahasa Dayak Sawe yakni semacam penganan/
makanan yang terbuat dari padi yang telah di onseng dan ditumbuk hingga gepeng
dan dicampur dengan gula atau induk gula). Disaat orang Sawe makan padi baru
selalu membuat penganan semcam itu, dan ini adalah tradisi turun-temurun dari
para sesepuh pada zaman dahulu. Kami memiliki kepercayaan bahwa jikan penganan/
makanan semcam itu tidak dibuat pada saat upacara maka tidak sah lah upacara
makan padi baru. Beginilah cerita kami orang Dayak Sawe bila makan padi baru
dengan mengambil roh padi, kami orang Sawe selalu bersyukur kepada Tuhan atas
hasil panen yang sudah kami terima.
HUBUNGAN PACARA MENGAMBIL ROH PADI DAN
MAKAN PADI BARU DENGAN AGAMA(KATOLIK)
Telah tertulis jelas
bahwa, adat-istiadat orang Sawe terutama dalam upacara mengambil Roh Padi
dan makan padi baru bersama-sama adalah
suatu wujud syukur dan terimakasih masyarakat Sawe kepada sang Pencipta atas
hasil panen padi. Setiap usaha mereka sealalu berhasil dan atas keberhasilan
mereka khususnya dalam berladang karena mata pencaharian masyarakat Sawe pada
umumnya adalah berladang berpindah-pindah dan ini merupakan tradisi
turun-temurun. Hal ini mau menunjukan bahwa masyarakat Sawe memiliki
kepercayaan bahwa adanya peranan Sang Pencipta yang menguasai bumi dan
menciptakan segalanya sehingga mereka sadar dan percaya kepada Sang Pencipta,
maka dibuatlah suatu upacara khusus berupa penghormatan kepada Tuhan yang telah
memberikan hasil panen yang berlimpah.
Dalam agama juga ada
suatu upacara pemberkatan benih padi dan pemberkatan alat-alat untuk berladang
seperti cangkul, parang dan lain sebagaianya. Maka, dari sebab itu tampak jelas
sekali ada hubungan yang sangat erat terutama dalam tujuan dari upacara tersebut
yakni berupa ucapan syukur kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta yang telah
menciptakan segala isi bumi hal ini jelas juga mau menunjukkan bahwa Masyarakat
Sawe sangat menghormati Tuhan.
Yang menjadi masalah
disini adalah struktur upacaranya, bahwa dalam tata upacara adat Masyarakat
Sawe terdapat sarana yang sedikit agak rancu bila dipandang dari segi agama,
sarana itu berupa paku. Paku di percaya oleh masyarakat Dayak Sawe sebagai
suatu penguat semangat/ roh bagi padi. hal ini tentu ada semacam “penyembahan
berhala” terhadap paku tersebut, selain itu juga hal yang cukup rancu jika
dipandang deri segi agama bahwa masyarakat Dayak Sawe mempercayai padi meiliki
roh. Namun, hal ini bukan berarti mengurangi tujuan utama dari upacara tersebut
yakni penghormatan dan ucapan syukur dan terimakasih kepada “Duata/Petaha”
(Tuhan).
Kesamaan dalam hal
tujuan antara upacara adat dayak Sawe “mengambil roh padi dan makan padi baru”
dengan upacara pemberkatan benih dan alat-alat bekerja dalam agama (pemmberkatan
barang atau alat-alat Sakramentali) menunjukkan korelasi dan relevansi yang
sangat jelas sekali, dan hal ini mau menunjukkan bahwa masyarakat Dayak Sawe
percaya akan adanya Tuhan sang Pencipta ini membuktikan bahwa adanya unsur
spiritualitas dari masyarakat Dayak Sawe.
A. KESIMPULAN
Secara keseluruhan
telah dijelaskan bahwa antara upacara adat Dayak Sawe sangat erat hubungannya
dengan agama, hal ini jelas terlihat dalam hal tujuan utama dari upacara
tersebut yakni mau menunjukkan suatu ucapan syukur kepada sang Pencipta atas
hasil bumi dan lain sebagainya. Hal ini jugalah yang sedikit-banyak menunjukkan
adanya semacam “inkulturasi” yakni memasukkan budaya tradisional ke dalam tata
upacara agama yang telah disepakati dan di setujui bersama tentunya dengan
tidak melanggar kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat
dan khususnya dipandang dari kaca mata iman Kristiani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar